Rabu, 09 Januari 2008

Mantan Kapolri Rusdiharjo Semakin Terpojok

KRC, Jakarta
Kunci Mati Sang Jenderal Rusdihardjo makin tersudut dalam kasus pungutan liar di Kedutaan Besar RI untuk Malaysia. Ia mengaku menerima duit dari agen yang mengurus dokumen imigrasi sebagai hadiah.
SEPUCUK surat melayang ke rumah Kanjeng Pangeran Haryo Rusdihardjo di Jalan Pattimura, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. Isinya meminta mantan Kepala Kepolisian RI itu datang ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Hari itu, KPK hendak menuntaskan pemeriksaan kasus korupsi Jenderal (Purn.) Rusdihardjo sebelum berkasnya diserahkan ke jaksa penuntut.
Duta Besar RI untuk Malaysia periode 2004–2007 itu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak Maret 2007. Lima bulan kemudian terbit surat cegah tangkal. Pria 63 tahun ini terseret dalam kubangan perkara korupsi penerapan tarif ganda pengurusan dokumen keimigrasian di kedutaan yang ia pimpin.
Sehari sebelumnya, Hadi A. Wayarabi, pendahulu Rusdihardjo di KBRI Kuala Lumpur, dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hukuman setimpal juga diberikan kepada Suparba W. Amiarsa, Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur. Keduanya ikut bancakan duit pungutan.
Skandal ini juga menyeret bekas Kepala Subbidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur M. Khusnul Yakin Payapo, yang dihukum 2 tahun 5 bulan penjara. Pejabat Konsulat Jenderal KBRI di Penang, yaitu Erick Hikmat Setiawan, diganjar 20 bulan penjara. Adapun di Konsulat Jenderal KBRI Johor Baru, Eda Makmur divonis 2 tahun, dan Kepala Subbidang keimigrasian Prihatna Setiawan dipenjara 3 tahun.
Kasus pungutan tarif ganda bermula pada pertengahan 1999, sewaktu duta besarnya adalah Muhammad Jacob Dasto. Sebelum melepas jabatannya, ia didatangi Suparba yang memohon agar Dasto menerbitkan acuan baru tarif pengurusan dokumen imigrasi. Alasannya, tarif yang ada sudah ketinggalan zaman. Rengekan Suparba dikabulkan Dasto dengan menerbitkan SK Dubes RI Nomor 021/SK-DB/0799,
Nah, warisan Dasto inilah belakangan terungkap menjadi alat pemeras bagi warga yang mengurus dokumen keimigrasian di KBRI Malaysia di Kuala Lumpur dan sejumlah konsulat jenderal. SK ini dipermak menjadi dua versi: mahal dan murah. Versi mahal dipakai memungut biaya bagi warga yang butuh legalitas keimigrasian.
Adapun SK versi murah digunakan untuk laporan hasil pungutan ke kas negara sebagai setoran penerimaan bukan pajak ke Jakarta. Modus menjaring duit ala KBRI Malaysia ini berjalan mulus hingga duta besarnya datang silih berganti. Dari Hadi A. Wayarabi Alhadar sampai Rusdihardjo.
Borok ini terungkap berkat laporan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan yang dibisiki koleganya, semacam KPK di Malaysia. Diinformasikan terjadi lalu lintas dana sebesar Rp 13,8 miliar dari pejabat Konsulat Penang ke KBRI Kuala Lumpur. Kabar ini ditangkap Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda untuk ditindaklanjuti dengan membentuk tim investigasi pada 24 Oktober 2005.
Rusdihardjo dinyatakan terlibat tidak hanya dari keterangan Hadi A. Wayarabi maupun Suparba. Keterangan serupa mengalir dari Jonas Lumban Tobing, anggota tim investigasi bentukan Departemen Luar Negeri.
Menurut Jonas, Rusdihardjo mengetahui sekaligus menyetujui pungutan liar di KBRI Kuala Lumpur. Keterangan Jonas didasarkan hasil klarifikasi pada 24 November 2005, bahwa Rusdihardjo ketika itu saban bulan, sejak Januari 2004 sampai Mei 2005, menerima setoran duit dari Arihken Tarigan. Arihken adalah Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur yang menggantikan Suparba.
Besarnya setoran sekitar 20–30 ribu ringgit Malaysia atau Rp 50–75 juta dengan nilai tukar Rp 2.500 per ringgit. Menurut Rusdihardjo, duit itu merupakan komisi pemberian agen pengurusan dokumen. Pengakuan itu dibuat secara tertulis yang disampaikan kepada Sudjanan Parnohadiningrat, Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri.
Rusdihardjo sempat membela diri bahwa uang cuma-cuma tadi tidak dinikmati sendiri, melainkan dipakai membiayai operasional kantor kedutaan, di antaranya mendatangkan 14 anggota Brigadir Mobil Kepolisian RI dari Jakarta untuk menumpas calo di KBRI Kuala Lumpur. Di hadapan Sudjanan, keturunan keluarga Keraton Surakarta ini bersedia mengembalikan duit 317.700 ringgit yang diterima dari Arihken.
Arihken yang semula kompak dengan Rusdihardjo dan saling menutupi borok masing-masing akhirnya mengoceh, menyebut bekas atasannya itu selalu minta jatah ringgit. Bukti-bukti ini yang dipakai KPK untuk menyeret Rusdihardjo ke meja hijau. ”Kasusnya sudah P21 (lengkap),” kata Ketua KPK Antasari Azhar.
Kabar bahwa Rusdihardjo akan ditangkap tim KPK sempat merebak. Penangkapan itu akan dilakukan jika Rusdihardjo tiga kali dipanggil tidak datang ke gedung KPK. Kamis pekan lalu merupakan pemanggilan pertama. Tapi, kabar ini dibantah juru bicara KPK, Johan Budi S.P.
Begitu pula ketika dikonfirmasikan ke Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah. Ihwal rencana penahanan Rusdihardjo, kata Chandra, ”Saya tidak mau komentar. Intinya KPK sudah mengumpulkan banyak bukti.”
Yang jelas, menurut Antasari Azhar, berkas pemeriksaan Rusdihardjo sudah lengkap dan siap dilimpahkan ke jaksa penuntut umum. ”Pelimpahan itu kami jadwalkan Kamis (pekan lalu),” kata Antasari. Selanjutnya, kata Antasari, jaksa penuntut membuat dakwaan. ”Jika semua lancar, berkasnya siap dilimpahkan ke pengadilan,” ujarnya.
Kondisi kesehatan Rusdihardjo rupanya menghambat langkah KPK. Sejak 28 Desember 2007 ia dirawat di Rumah Sakit Medistra Jakarta. Menurut Chandra, mestinya pada Kamis pekan lalu tersangka menemui tim penyidik KPK. ”Kami panggil untuk diperiksa lagi, tapi batal,” ujar Chandra. KPK sudah menjadwal ulang pemanggilan Rusdihardjo. ”Waktunya tidak lama lagi.”
Dalam wawancara dengan Tempo, Rusdihardjo bilang ia justru berusaha membenahi tumpang-tindihnya tarif pungutan. Caranya, ia hendak mencabut peraturan tarif tinggi. Menanggapi pengakuan Arihken, Rusdihardjo menjawab santai: ”Itu kan menurut catatannya. Dia juga bisa menulis US$ 3 juta, bukan? Mungkin psikologi tersangka, semua orang ditembak.”
Bantahan Rusdihardjo sudah terlambat. Semua orang yang pernah menjadi anak buahnya dan tersangkut masalah ini ”bernyanyi”. Sri Edith Akilie, misalnya. Staf lokal bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur ini mengatakan kepada penyidik, selama menjabat, Rusdihardjo tidak pernah mengubah kebijakan tarif ganda itu.
Jonas sendiri tidak mau berkomentar tentang soal ini. Ketika dihubungi, Kamis pekan lalu, ia menjawab, semuanya sudah diserahkan ke KPK. Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri Dienne Hardianti Moeharyo idem ditto. ”Semuanya sudah di KPK. Kami hanya memantau saja.”
(tp)

Tidak ada komentar: