Rabu, 10 Juni 2009

Sengketa tanah Jl. Soekarnom Hatta Perjuangkan Warisan Keluarga Malah Ditahan




KRC,Malang
Hasrat hati ingin memperjuangkan tanah warisan milik nenek moyangnya. Namun tidak tahunya berujung masuk penjara. Itulah yang dialami keluarga besar (alm) Sidik P. Nawi yang mengaku pemilik tanah seluas 1,09 hektare di Jl Soekarno-Hatta.


Senin sore, ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Malang tampak penuh. Ruang sidang berukuran 7 x 4 meter itu penuh sesak pengunjung. Empat saf bangku kayu terisi penuh. Selain itu, ada yang berdiri mengisi ruang sempit di sela-sela deretan bangku.

Bukan hanya itu. Di depan pintu ruang sidang, terdapat banyak orang berjejal. Saking penuhnya, dari luar, suasana sidang tidak terlihat.

Semua mata pengunjung tertuju kepada lima terdakwa berpakaian hitam dan putih. Kelimanya sudah cukup umur. Terendah 30 tahun dan tertinggi 47 tahun. Satu di antaranya perempuan berjilbab berusia 40 tahun. Sidang dengan agenda pembacaan eksepsi oleh Gunadi Handoko itu disimak baik-baik oleh para pengunjung.

Itulah sekilas suasana sidang kedua kasus yang menyeret terdakwa cucu Sidik P. Nawi. Duduk di kursi pesakitan itu, Umi Kalsum (40), Poniran (46), Ponidi (47), Buari (40), dan Wasis (30). Dari raut wajahnya, mereka tampak lesu dan tidak bersemangat. Selama sidang, mereka banyak menundukkan kepala. Sesekali mereka menoleh ke belakang, ke bangku pengunjung.

Umi, misalnya, kerap memperhatikan seorang pria berusia 45 tahun berbaju batik yang duduk di deretan bangku pertama. Belakangan diketahui pria itu suaminya, Mulyono. Mulyono adalah penderita sakit mata akut. Fungsi penglihatannya banyak berkurang sejak lima tahun terakhir. Demikian juga Ponidi, yang duduk di deretan kedua setelah Umi. Dia selalu mengawasi anak-anaknya yang berdiri di dekat pintu ruang sidang.

Sekitar 30 menit kemudian, sidang yang dipimpin hakim Anne Rusiana (ketua) dengan anggota Hongkun Otoh dan Eni Sri Rahayu itu berakhir. Pengunjung pun berebut menemui para terdakwa. Ada yang memeluk, mencium, dan ada yang berjabat tangan. Isak tangis dan imbauan agar tetap tegar pun silih berganti dilakukan.

Mulyono yang berjalan dengan dibantu dua saudaranya berjalan tertatih-tatih mengantarkan istrinya masuk ke sel tahanan PN yang ada di belakang ruang sidang. "Ati-ati yo Bu, nang njero penjara (hati-hati ya Bu, di dalam penjara),'' pesan bapak dua anak ini sambil memegang erat pundak istrinya. Suasana mengharukan itu membuat banyak pengunjung PN tersita perhatiannya. Ada yang tertegun menatapnya dan ada yang menyalami Mulyono agar tetap semangat.

wartawan yang menghampiri kerumunan para terdakwa lekas dihampiri pria yang mengaku bernama Soewono, 59. Pria berambut putih ini adalah kerabat para terdakwa. Soewono mengaku sudah kehabisan akal bagaimana caranya untuk membuat para hakim mengabulkan permohonan penangguhan penahanan terhadap para terdakwa. "Apa salah keluarga besar kami? Kenapa harus dipenjara? Anak, suami, serta istri kami menderita karena penahanan ini,'' ucap Soewono menghiba.

Akibat penahanan ini, roda kehidupan keluarga besarnya tidak karuan. Anak-anak enggan sekolah karena orang tua mereka ditahan. "Bukannya malu, namun karena tidak ada lagi biaya yang bisa digunakan untuk sekolah. Makan sehari-hari saja masih sulit, apalagi untuk sekolah,'' katanya. Para terdakwa adalah tulang punggung keluarga dan rata-rata pekerja serabutan.

Misalnya keluarga Umi Kalsum. Semenjak suaminya sakit mata parah dan nyaris tidak bisa melihat selama bertahun-tahun, kedua anaknya tidak lagi ada yang mengurus. Demikian juga keluarga Buari yang kesehariannya bekerja menjadi kuli bangunan. Anaknya sebanyak lima orang dan masih kecil-kecil tidak ada yang mengurus. Sebab, istrinya harus menjadi pembatu rumah tangga.

Melihat kondisi keluarga para terdakwa amburadul, saudara-saudaranya yang lain prihatin. Secara bergantian mereka urunan untuk memberikan bahan pokok guna bertahan hidup.

Awal para terdakwa diseret ke ranah hukum ketika mereka dilaporkan Hery Tjandra, warga Malang, kepada Polda Jatim pada pertengahan 2008 lalu. Mereka dituduh melanggar Pasal 266 jo 378 KUHP tentang perbuatan memberikan keterangan palsu pada akta autentik dan penipuan. Akta autentik yang dipersoalkan adalah akta pernyataan nomor 3/2006 yang dibuat notaris Darma Sandjata Sudagung pada Januari 2006 lalu. Akta itu memuat beberapa poin kesepakatan yang ditandatangani para terdakwa. Di antaranya para terdakwa akan menerima uang Rp 150 juta dari Hery Tjandra sebagai kompensasi tanah miliknya. Kelak di kemudian hari, mereka tidak akan menuntut secara perdata maupun pidana terhadap Hery Tjandra.

Namun kenyataannya, para terdakwa menggugat secara perdata di PN Malang atas kepemilikan tanah tersebut. Karena mengingkari akta pernyataan itu, para terdakwa dipolisikan. Untuk tingkat penyidikan di kepolisian, para tersangka tidak ditahan. Namun, ketika pelimpahan tahap dua (tersangka dan barang bukti) kepada Kejaskaan Tinggi (Kejati) Jatim pada 18 Mei 2009 lalu, para terdakwa ditahan. Umi ditahan di LP Kelas II A Wanita Malang. Sedangkan empat suadara laki-lakinya ditahan di LP Kelas I Lowokwaru.

Soal isi surat pernyataan yang mengatakan bahwa mereka memperoleh uang Rp 150 juta dibantah Soewono. "Ahli waris sebanyak 21 orang menerima masing-masing hanya Rp 4 juta. Total hanya Rp 84 juta,'' katanya. Itu pun diterima dari seorang suruhan pengacara yang saat itu menangani kasusnya. "Kami merasa diakali pengacara itu,'' ujar Soewono.

Demikian juga soal tanda tangan. Kelima terdakwa juga tidak pernah bicara dengan para ahli waris. Menurut dia, penandatangan di akta pernyataan itu hanya terkesan dipaksakan.

Sementara itu, untuk menggugah nurani hakim, kemarin kurang lebih 50 orang yang terdiri atas para keluarga ahli waris menggelar aksi demo. Aksi pertama dilakukan sekitar pukul 09.00 di tanah yang menurut mereka masih dalam sengketa. Di tanah yang sudah berdiri ruko itu, mereka berorasi dan membentangkan poster.

Selanjutnya mereka melanjutkan aksi di PN Malang. Mereka ditemui Humas PN Malang Johanis Hehamoni. Johanis berjanji akan menyampaikan keluhan mereka kepada hakim yang menangani perkaranya.

Selain itu, dalam kasus yang sama, tiga hakim dari Komisi Yudisial (KY) turun ke PN Malang memeriksa dua hakim yang menyidangkan kasus gugatan perdata. Hakim yang diperiksa adalah Bonny Sangah dan Johanis Hehamoni. (jj)

Tidak ada komentar: